UKM Dina: Dari Ntobo, Perempuan Menenun Harapan
Di sebuah sudut tenang Kelurahan Ntobo, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, suara alat tenun yang dulu nyaris hilang kini kembali terdengar. Bukan karena nostalgia, tapi karena tekad bulat seorang perempuan bernama Yuyun Ahdiyanti, yang menolak membiarkan warisan leluhur tenggelam oleh zaman. Ia tidak hanya mengajak para perempuan Ntobo untuk kembali menenun benang, tapi juga menenun harapan untuk budaya yang hampir saja dilupakan, untuk perempuan yang ingin mandiri, dan untuk kampung yang ingin dikenal dunia.
UKM Dina lahir dari cinta dan keprihatinan. Cinta terhadap motif-motif khas Bima yang menyimpan cerita nenek moyang, dan keprihatinan melihat generasi muda Ntobo yang mulai menjauh dari akar budaya mereka. Dari benang-benang yang dulu hanya menjadi kenangan, Yuyun membangun harapan dan rencana untuk menghidupkan kembali tenun khas Bima, memberdayakan perempuan Ntobo, dan membawa tenun Ntobo ke peta ekonomi kreatif Indonesia. Lewat UKM Dina, Yuyun tidak hanya menyelamatkan warisan leluhur, tapi juga mengubahnya menjadi kekuatan ekonomi yang menghidupi banyak keluarga.
"Ada satu rasa yang sulit dijelaskan waktu saya lihat penenunan mulai ditinggalkan," ujar Yuyun ketika berbincang secara virtual. "Seperti melihat sesuatu yang seharusnya hidup, namun perlahan padam."
Merekam Jejak yang Hampir Hilang
Yuyun Ahdiyanti tidak memiliki nama besar di dunia bisnis. Ia bukanlah lulusan dari sekolah mode atau ekonomi. Tapi ia memiliki sesuatu yang lebih kuat, yaitu rasa cinta yang mendalam terhadap warisan leluhur. Sejak kecil, Yuyun tumbuh dilingkungan yang akrab dengan benang dan motif cantik khas Bima. Saat itu, di rumah-rumah warga Ntobo, suara alat tenun bukanlah hal yang asing.
Yuyun kecil menyaksikan ibunya, neneknya, dan perempuan-perempuan lain di kampungnya bekerja dengan penuh kesabaran, menyusun benang demi benang menjadi kain yang indah. Bagi perempuan Ntobo di masa itu, tenun bukan hanya kerajinan, tenun adalah bahasa tradisi. Di dalam setiap motif, ada kisah leluhur, doa, nilai hidup, dan peradaban masyarakat Bima, khususnya kampung Ntobo.
Tetapi seiring waktu, Yuyun melihat sesuatu yang membuatnya resah. Tradisi menenun perlahan mulai memudar, tertinggal oleh modernisasi dan nyaris dilupakan oleh generasi muda yang kini lebih tertarik pada dunia digital daripada motif tradisional. Banyak generasi muda Ntobo yang merasa tenun hanyalah warisan lama yang tidak menjanjikan masa depan. Bagi mereka, menenun bukanlah sesuatu yang istimewa melainkan pekerjaan sehari-hari bagian dari rutinitas perempuan Bima. Seringkali hanya dipandang sebagai "pekerjaan rumahan."
Di sisi yang lain, pasar tekstil modern menawarkan kain dengan proses lebih cepat dan harga yang lebih murah. Tidak heran, jika keahlian menenun perlahan terancam hilang, tersisih oleh perubahan zaman dan dinamika ekonomi. Pada titik inilah, Yuyun menyadari jika tidak ada yang bergerak menyelamatkan dan menghidupkan kembali tradisi menenun, maka suatu saat tradisi ini hanya akan menjadi catatan sejarah atau pajangan di museum. Yuyun memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk merekam jejak tradisi menenun yang hampir hilang di kalangan perempuan Ntobo, yaitu melalui UKM Dina.
Merintis UKM Dina untuk Hidupkan Kembali Tradisi Menenun Perempuan Ntobo
Tidak ingin tradisi menenun di kalangan perempuan Ntobo perlahan hilang, apalagi kebanyakan generasi muda lebih suka merantau dan hanya tersisa perempuan yang semakin menua, Yuyun mulai memikirkan untuk merintis usaha yang mampu menghidupkan kembali tradisi menenun kain khas Bima. Ia ingin kain tenun yang ditenun perempuan Ntobo tetap hidup, dipakai, dibanggakan, dan diwariskan.
Akhirnya, pada tahun 2015, Yuyun memulai langkah kecilnya dengan mendirikan UKM Dina. UKM Dina yang dirintis Yuyun merupakan sebuah usaha mikro yang fokus pada pelestarian dan pengembangan kain tenun Bima. Nama "Dina" dipilih bukan hanya sebagai identitas, tapi juga sebagai simbol perempuan yang tangguh, berdedikasi, dan penuh makna.
Dalam sesi bincang secara virtual, Yuyun menceritakan betapa sulitnya memulai usaha kain tenun khas Bima. Bukan hanya persoalan terbatasnya peluang pasar kain tenun di tahun-tahun awal UKM Dina tersebut, tapi juga terbatasnya pasokan kain tenun. Tidak bisa dipungkiri, membangkitkan kembali tradisi dan semangat menenun di kalangan perempuan Ntobo bukan perkara mudah. Apalagi banyak perempuan muda Ntobo yang tidak memiliki keahlian menenun sebaik generasi tuanya.
![]() |
| Foto: www.instagram.com/ukm_dina/ |
Modal terbatas, kemampuan pemasaran yang minim, dan belum adanya pasar yang jelas juga menjadi tantangan terberat Yuyun bersama UKM Dina di masa itu. Tidak ingin larut dalam kesulitan dan tantangan tersebut, Yuyun memulai langkah berani dengan tidak henti-hentinya membujuk dan mengajak para perempuan di kampung Ntobo untuk kembali menenun dan belajar menenun.
Tidak hanya mengajak, Yuyun juga berusaha untuk menyakinkan bahwa kain tenun yang dihasilkan tidak hanya akan menjadi warisan budaya leluhur mereka, tapi juga memiliki peluang ekonomi, dan bisa dijadikan sumber penghasilan. Kain tenun yang dihasilkan bisa dijual dan memberikan manfaat ekonomi tidak hanya bagi para perempuan tapi juga untuk keluarga agar anak-anak Ntobo bisa mendapatkan pendidikan lebih baik.
"Saya percaya, kalau satu orang bergerak, yang lain akan mengikuti," ujar Yuyun bersemangat saat menjadi narasumber secara virtual.
Seiring berjalannya waktu, keyakinan itu akhirnya terbukti. Meskipun belum sampai ke pasar nasional namun UKM Dina makin berkembang. Kini riuh suara alat tenun di kampung Ntobo mulai kembali terdengar memecah pagi hingga siang. Setelah berkutat menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, para perempuan Ntobo bersemangat menyelesaikan kain tenun yang telah dimulai.
Motif-motif baru pun tercipta, namun tetap berakar pada kekayaan budaya Bima. Produk tenun UKM Dina pun mulai beragam menyesuaikan dengan permintaan pasar. Kini, tenun khas Bima tidak hanya untuk pakaian tradisional, tetapi juga dikembangkan menjadi produk fashion lain, seperti selendang, tas, hingga pakaian dengan desain yang lebih modern. UKM Dina juga memproduksi beragam dekorasi rumah dari kain tenun tersebut. Dengan beragam produk turunan dari kain tenun khas Bima tersebut, akhirnya kampung Ntobo dikenal sebagai salah satu kampung tenun di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Motif-motif Tenun Bima: Setiap Helai yang Menyimpan Makna
Di Kampung Ntobo, kain tenun bukan hanya soal estetika dan keindahan visual. Ia adalah warisan, doa, dan identitas yang menyimpan jejak budaya, nilai hidup, dan filosofi masyarakat Bima. Setiap motif yang diciptakan para penenun memiliki makna dan pesan simbolis yang diwariskan dari generasi ke generasi. Rasanya tidak lengkap jika tidak membahas motif-motif apa saja yang dibuat para perempuan penenun di Ntobo, dan produknya bisa ditemui di UKM Dina.
Tenun atau dalam Bahasa Mbojo dikenal dengan "Muna ro Medi" yang dihasilkan kaum perempuan Ntobo ada dua jenis, yaitu Nggoli dan Salungka. Dari dua jenis tenun tersebut, ada banyak motif yang memiliki ciri khas tertentu, yang mencerminkan kehidupan keseharian masyarakat Kota Bima, khususnya Kampung Ntobo. Kain yang disebut juga Tembe yang paling banyak dibuat di Ntobo adalah jenis Tembe Nggoli. Tembe Nggoli ini sangat disukai konsumen karena berbahan halus, tidak mudah sobek, dan dapat menghangatkan tubuh. Berikut ini beberapa motif yang paling dikenal dan banyak dibuat oleh para perempuan penenun di Ntobo, diantaranya:
Motif Kain Tenun Nggoli Gari atau Garis
Nama motif ini diambil dari bentuk motif yang mengedepankan garis sebagai motif pokok pada kain tenun Nggoli. Motif Gari atau garis mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam mengambil sebuah keputusan, seperti lurusnya garis. Kain tenun ini biasa digunakan oleh laki-laki dalam keseharian seperti berladang, sholat dan aktifitas sehari-hari.
Motif Kain Tenun Salungka Nggusu Waru
Motif ini menjadi salah satu yang paling ikonik dalam tradisi tenun Bima. Nggusu Waru berarti segi delapan, melambangkan kebijaksanaan, kehormatan, dan kepemimpinan. Di masa lalu, kain bermotif ini hanya dikenakan oleh tokoh adat atau orang yang memiliki peran penting dalam masyarakat. Kini, ia menjadi simbol keberanian dalam mengambil peran dan tanggung jawab di tengah kehidupan modern.
Motif Kain Tenun Salungka Fare
Fare dalam bahasa Indonesia berarti padi. Motif fare merupakan representasi tanaman padi dalam bentuk yang sederhana. Beberapa bagian yang menunjukan tanaman padi adalah bentuk biji yang lonjong pada bagian pucuk, dibagian kiri dan kanan merupakan daun.
Motif Kain Tenun Salungka Cori Waji atau Weri
Motif kain tenun ini merupakan ragam hias yang menyerupai belah ketupat dimana cori waji ini merupakan panganan khas masyarakat Dompu yang terbuat dari beras ketan hitam yang disajikan pada saat prosesi upacara kapanca.
Motif Kain Tenun Salungka Kabate
Kabate dalam bahasa Indonesia berarti batik. Motif Kabate mirip dengan motif Lereng atau parang yang ada pada kain batik tradisional yang ada di Jawa. Bentuknya berpola miring dan disusun secara berulang.
Di tangan para penenun yang kini menjadi bagian dari UKM Dina, motif-motif ini tidak hanya dipertahankan, tapi juga dikembangkan. Dengan penuh semangat, para perempuan penenun menciptakan variasi baru yang tetap berpijak pada akar budaya, namun mampu menarik minat pasar modern.
UKM Dina, Bangkitkan Kepercayaan Diri Perempuan Ntobo
Dibalik setiap helai tenun yang dihasilkan UKM Dina, tersimpan kisah perempuan-perempuan Ntobo yang perlahan menemukan kembali kepercayaan dirinya. Banyak perempuan Ntobo yang awalnya merasa keterampilan menenun hanyalah pekerjaan sampingan yang tidak dihargai, sesuatu yang diwariskan begitu saja tanpa makna ekonomi. Mereka menenun karena kebiasaan, dan merasa keahlian tersebut bukanlah suatu kebanggaan.
Tapi kini, sejak hadirnya UKM Dina, Yuyun perlahan mulai membangkitkan rasa percaya diri perempuan Ntobo dan menunjukkan bahwa keahlian menenun yang dimiliki adalah sesuatu yang sangat berharga. Setiap helai kain yang berhasil dijual menjadi bukti nyata bahwa keterampilan menenun perempuan Ntobo dihargai dan lebih dari itu, budaya menenun yang diwariskan secara turun-temurun ternyata memiliki tempat di dunia modern. Melalui UKM Dina, Yuyun membuktikan bahwa tradisi menenun di kalangan perempuan Ntobo dapat menjadi kekuatan ekonomi ketika diberi ruang untuk tumbuh dan dihargai.
![]() |
| Foto: Koleksi Pribadi Yuyun Ahdiyanti/UKM Dina |
Suasana di Kampung Ntobo pun kini mulai berubah, rumah-rumah yang dulu mulai sepi dari riuhnya alat tenun kini kembali hidup, sambil sesekali terdengar percakapan tentang teknik warna, tentang motif baru, bahkan tentang pesanan yang mulai berdatangan dari luar daerah, di UKM Dina. Sejak kembali menenun, banyak perempuan Ntobo kini memiliki pendapatan sendiri, membantu ekonomi keluarga, dan bahkan menjadi inspirasi bagi anak-anak mereka. Lebih dari itu, mereka merasa dihargai.
UKM Dina bukan hanya tempat produksi kain tenun. Ia adalah ruang tumbuh dan ruang belajar. Di sana, perempuan saling mendukung, saling menguatkan, dan saling belajar. Mereka tidak hanya menenun benang, tapi juga menenun rasa percaya diri yang dulu sempat hilang. Dari Ntobo, mereka menunjukkan bahwa perempuan desa bisa menjadi penggerak perubahan, dengan tangan, hati, dan warisan budaya yang mereka jaga bersama. Kini, tenun khas Bima yang dihasilkan dari tangan perempuan penenun Ntobo telah berhasil menembus pasar nasional, salah satunya lewat UKM Dina.
Lewat UKM Dina yang Terus Bertumbuh, Yuyun Ahdiyanti Raih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024
Tidak ada yang menyangka bahwa dari sebuah kampung kecil bernama Ntobo, lahir sebuah gerakan budaya dan ekonomi yang mampu menembus panggung nasional. UKM Dina, yang dirintis oleh Yuyun Ahdiyanti sejak 2015, bukan hanya menjadi wadah pelestarian tenun Bima, tetapi juga menjadi simbol ketekunan, inovasi, dan pemberdayaan komunitas. Lewat tangan Yuyun, benang-benang tradisional berubah menjadi karya bernilai tinggi yang membawa dampak nyata bagi masyarakat.
Perjalanan UKM Dina bukanlah cerita instan. Ia dibangun dari keprihatinan, cinta, dan kerja keras yang konsisten. Selama bertahun-tahun, Yuyun tidak hanya memproduksi tenun, tapi ia telah membangun ekosistem dengan mengajak perempuan Ntobo menenun kembali, mengedukasi generasi muda, dan menciptakan motif-motif baru yang tetap berpijak pada akar budaya masyarakat Bima.
![]() |
| Foto: Koleksi Pribadi Yuyun Ahdiyanti/UKM Dina |
Yuyun juga aktif memperluas jaringan, mengikuti berbagai pameran, dan membuka ruang kolaborasi lintas daerah. Semua itu dilakukan dengan semangat "Satukan Gerak, Terus Berdampak," sebuah filosofi yang akhirnya membawanya meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024. Penghargaan bergengsi dari Astra ini menjadi titik balik yang memperkuat identitas UKM Dina sebagai UMKM yang berkarakter dan inovatif, sekaligus membawa pesan bahwa tenun khas Bima memiliki nilai yang layak dihargai dalam konteks lokal, nasional, hingga global.
"Penghargaan ini jauh melampaui harapan saya," ujar Yuyun penuh suka cita saat ditanyakan tanggapannya setelah meraih apresiasi tersebut secara virtual. "Tapi juga menjadi tanggung jawab untuk terus berinovasi dan menjaga karakter UKM Dina," lanjut Yuyun. Ia menyadari bahwa apresiasi bukanlah akhir dari perjuangannya, melainkan awal dari babak baru: memperluas dampak, memperkuat komunitas, dan membawa tenun Bima ke panggung dunia.
Bagi masyarakat Ntobo, penghargaan ini bukan hanya milik Yuyun dan UKM Dina, tapi milik semua perempuan yang telah menenun harapan bersama. Ia menjadi bukti bahwa kerja lokal bisa berdampak global, dan bahwa perempuan desa bisa melakukan perubahan, dengan benang, motif, dan semangat yang tak pernah padam. Bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang statis, karena ia dapat menjadi sumber ekonomi dan kebanggaan.
Menenun Harapan, Ntobo sebagai Kampung Tenun
Ntobo bukan lagi sekadar titik kecil di peta Kota Bima. Di balik rumah-rumah sederhana dan lorong-lorong sunyi, kini hidup sebuah mimpi kolektif: menjadikan Kampung Ntobo sebagai pusat tenun tradisional yang dikenal luas, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di mata dunia. Mimpi itu tidak dibangun oleh satu orang saja, tapi ditenun bersama, oleh tangan-tangan perempuan, oleh semangat komunitas, dan rasa cinta terhadap warisan budaya.
Yuyun Ahdiyanti percaya bahwa tenun bisa menjadi pintu masuk bagi wisata budaya, pendidikan kreatif, dan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Ia membayangkan Ntobo sebagai Kampung Tenun yang hidup: tempat wisatawan datang bukan hanya untuk membeli kain tenun, tapi untuk menyaksikan prosesnya, mendengar cerita di balik motif, dan merasakan langsung kehangatan komunitas penenun.
Untuk mewujudkan harapan Ntobo sebagai Kampung Tenun di masa depan dan menjaga keberlanjutan UKM Dina, Yuyun membuka ruang bagi inovasi dan kolaborasi yang lebih luas. Yuyun memahami bahwa dunia terus berubah, begitu pula selera dan cara masyarakat memaknai budaya. Karena itu, ia tidak berhenti pada motif dan teknik tradisional saja, tetapi juga mulai mengeksplorasi palet warna yang lebih modern, model busana yang lebih adaptif, dan kemasan cerita yang lebih mudah diterima generasi muda.
Selain inovasi produk, Yuyun terus membangun jaringan kolaborasi. Ia menjalin hubungan dengan pemerintah daerah diluar Nusa Tenggara Barat, komunitas seni, desainer, komunitas ekspor-impor, hingga jaringan pemasaran digital. Langkah ini bukan hanya memperluas pasar, tetapi juga membuka peluang pembelajaran bagi para perempuan penenun, belajar manajemen usaha, pemanfaatan teknologi, hingga strategi pemasaran berkelanjutan.
Di dalam setiap langkah ini, ada satu harapan yang tidak pernah pudar, bahwa UKM Dina dapat menjadi ruang di mana generasi baru belajar bangga menjadi bagian dari budaya sendiri. Yuyun bermimpi suatu hari, anak-anak dan remaja Ntobo tidak lagi melihat menenun sebagai aktivitas masa lalu, tetapi sebagai keterampilan masa depan yang membawa identitas, kemandirian, dan martabat.
Melalui UKM Dina, Yuyun Ahdiyanti telah membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal sederhana yang dekat dengan keseharian masa kecilnya. Ia tidak hanya menghidupkan kembali tenun Bima, tapi juga membangkitkan kepercayaan diri komunitasnya, membuka peluang ekonomi, dan mengangkat identitas budaya ke tempat yang lebih tinggi.
Di tangan Yuyun dan perempuan penenun Ntobo, tenun khas Bima tidak hanya hidup kembali, tapi berkembang, berdampak, menginspirasi, dan memberi harapan.
Sumber Referensi Artikel dan Foto:
Dokumen Presentasi Yuyun Ahdiyanti Lewat Zoom
https://jurnal.stkipbima.ac.id/index.php/ES/article/view/1480
https://www.instagram.com/ukm_dina/






Posting Komentar untuk "UKM Dina: Dari Ntobo, Perempuan Menenun Harapan"
Posting Komentar