TB, SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KEMISKINAN

TB masih menjadi masalah kesehatan di tingkat dunia, dengan perkiraan kasus sebanyak 8,6 juta. Indonesia, menduduki peringkat keempat dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Dan tidak terasa Lomba Blog "Temukan dan Sembuhkan Pasien TB" telah memasuki serial 6 dari 8 serial, dalam kurun waktu ini telah banyak informasi yang digali dan disebarkan kepada masyarakat tentang seluk beluk penyakit TB yang mematikan dan menyebabkan permasalahan kesehatan di masyarakat tidak kunjung usai, bahkan semakin diperberat dengan munculnya ko-infeksi pada pasien TB dan HIV/AIDS, serta kasus MDR TB yang semakin menunjukkan tren peningkatan.
Kemiskinan dan kualitas kesehatan
Gambar dari berbagai sumber


Di atas kertas, penderita TB hampir 75% diantaranya masih berusia produktif (antara 15-54 tahun) dari kalangan miskin, tidak hanya sulit untuk bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya, tetapi juga semakin sulit untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan yang menimpanya. Maka tak ayal lagi, TB adalah wabah yang menghantui 2,7 milyar penduduk bumi yang berpenghasilan kurang dari 2 dollar perhari.

KEMISKINAN DAN TUBERKULOSIS

TB adalah wabah yang lekat dengan kemiskinan, karena TB dan kemiskinan ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, kemiskinan bisa menjadi penyebab mewabahnya TB. Seperti misalnya, lingkungan kumuh, padat dan kotor, yang mana menjadi tempat tinggal milyaran penduduk miskin dunia menjadi tempat favorit berkembangbiaknya wabah TB. Sedangkan di sisi yang lain, wabah TB menjadi salah satu sumber kemiskinan, tidak hanya bagi si penderita, melainkan juga bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Kemiskinan akan membatasi akses antara lain terhadap keamanan makanan, sanitasi, pendidikan, dan kesehatan. Dengan demikian orang miskin menjadi rentan terhadap penyakit menular, khususnya TB karena :
  • Asupan gizi yang tidak terjaga dengan baik akan menurunkan daya tahan tubuh dari serangan penyakit.
  • Kondisi tempat tinggal yang jauh dari layak dan pemukimam yang padat mengakibatkan mudah tertular penyakit atau menularkan penyakit.
  • Kondisi rumah yang tidak sehat, tidak memiliki sanitasi dan ventilasi yang memadai akan menambah kerentanan terhadap berbagai penyakit.
  • Tingkat pengetahuan yang rendah, terutama masalah kesehatan menyebabkan tingkat antisipasi dan kesadaran untuk segera mencari pengobatan jika terkena penyakit sangat minim.
TB dan Kemiskinan
Sumber gambar

Bayangkan...jika TB banyak diderita oleh orang-orang yang masih berusia produktif, jikalau kemiskinan menyebabkan mereka menjadi kurang produktif dan jika di tambah lagi dengan penderitaan akibat TB menyebabkan mereka semakin tidak mampu menjadi produktif, mereka akan semakin sulit untuk lepas dari jerat kemiskinan. Bila sudah demikian beban ekonomi akan terus bertambah dan menunjukkan tren kenaikan sekaligus dibarengi dengan tren kenaikan angka kematian akibat TB dan ketidakproduktifan untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

Siapa sih yang tidak ingin menjadi seorang yang produktif, namun untuk menjadi produktif  seseorang haruslah sehat baik fisik maupun mental, karena kesehatan merupakan salah satu pintu keluar dari jerat kemiskinan. Dengan menjadi produktif dan sehat, kemiskinan yang menjadi beban ekonomi terberat bagi bangsa Indonesia dengan sendirinya akan putus mata rantainya, karena kemiskinan dan TB bukan hanya menimbulkan penderitaan bagi yang bersangkutan namun juga keluarganya. Jika ini terjadi, maka peluang melahirnya generasi yang sama di masa mendatang akan semakin kecil bahkan bisa hilang sama sekali.

Menarik jika di simak penuturan Archbishop Desmond Tutu dari Afrika Selatan bahwa "Tuberculosis is a child poverty, and also it's parent and provider", yang intinya menyatakan TB merupakan produk kemiskinan sekaligus menghasilkan dan membawa kemiskinan.

Publikasi WHO dalam rangka World TB Day 2002 yang mengambil tema Stop TB Fight Proverty menyebutkan :
  1. Beberapa alasan gagalnya pengobatan TB antara lain derajat kemiskinan penderita, sulitnya menjangkau fasilitas kesehatan, kurangnya petugas kesehatan, prosedur yang berbelit, dan harga obat yang mahal.
  2. Biaya total yang harus dikeluarkan oleh masyarakat miskin seringkali "diremehkan". Tidak jarang biaya tidak langsung untuk mendapatkan pengobatan jauh lebih mahal daripada biaya langsung untuk berobat. Selain itu, tenaga kerja yang sakit tentu akan mengakibatkan memburuknya ekonomi, dan buruh serta petani yang miskin akan makin miskin jika mereka jatuh sakit.
  3. Pemulihan kesehatan adalah salah satu upaya nyata untuk menuntaskan kemiskinan. Investasi pada kesehatan pada dasarnya adalah investasi pada pengembangan sumber daya manusia yang potensial.
  4. TB diperkirakan menghabiskan biaya sebesar 12 Milyar Dollar AS setiap tahun  dari kaum miskin seluruh dunia.
  5. Penelitian menunjukkan 3 atau 4 bulan masa kerja akan hilang karena seseorang sakit TB. Hal ini berpotensi menyebabkan hilangnya 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun. Bila seseorang meninggal akibat TB, maka keluarganya akan kehilangan sekitar 13-15 tahun pendapatan karena kepala keluarganya meninggal akibat TB.
  6. TB dan HIV akan punya dampak ekonomi yang amat luas bagi suatu negara, terutama bila prevalensi HIV (+) di satu negara sekitar 10-15%  maka dampak akibat TB dan HIV di negara tersebut dapat menurunkan angka pertumbuhan GDP (Growth Domestic Product) sampai sekitar 1% pertahun.
Sedangkan analisis Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI menyatakan bahwa kerugian atau beban ekonomi akibat TB dapat juga dilihat dari 4 aspek, yaitu :
  1. Health Consumption Effect, yaitu kerugian dalam bentuk mengurangi konsumsi barang/jasa kesehatan akibat sakit atau meninggal.
  2. Social Interaction dan Leisure Effects, yaitu kerugian akibat terhambatnya interaksi sosial dan kurangnya waktu luang untuk santai.
  3. Short Term Production Effects, baik berupa keluarnya biaya untuk berobat dan hilangnya hari kerja produktif maupun turun atau hilangnya kesempatan mengurus keluarga dan rumah tangga secara baik.
  4. Long Term Production Consumption Effect dalam bentuk efek demografis konsumsi serta suplai tenaga kerja.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa TB masih merupakan masalah kesehatan yang sangat penting baik di dunia maupun di Indonesia, selain itu TB adalah Giant Poverty Producting mechanism. Pemberantasan TB yang tidak tuntas sama artinya membiarkan peningkatan angka kemiskinan semakin naik,  karena beban atau kerugian ekonomi yang ditanggung akan semakin besar.

Selain itu, penderitaan akibat sakit TB yang berujung pada kurang produktifnya si penderita hingga menghempaskannya ke jurang kemiskinan, secara psikologis juga akan menghancurkan nilai diri dan nilai sosial yang ada dalam diri si penderita. Betapa tidak, hidup dengan garis kemiskinan dan menderita TB akan menyebabkan seseorang merasa rendah diri dan terkucil dalam pergaulan di masyarakat luas. Rasa rendah diri inilah yang kemudian akan memicu kecemasan serta ketakutan atau bahkan keengganan untuk mencari serta menerima pengobatan, pada akhirnya sikap inilah yang mengantarkan penderita pada kematian secara psikologis dan fisik.

Akibat TB dan Kemiskinan
Gambar: @TB Indonesia di twitter




TB sebagai salah satu sumber kemiskinan yang bukan hanya akan mengantarkan penderitanya pada kerugian secara ekonomi akibat ketidakproduktifannya untuk meningkatkan kualitas hidupnya saja, melainkan kemiskinan secara mental. 
  • Pasien TB akan memiliki persistensi stigma dan rendahnya kualitas emosi, bahkan setelah sembuh. Selain itu, pasien TB mengalami ketakutan dan kecemasan karena tidak bisa diterima di masyarakat. Kondisi ini tentu saja akan menimbulkan kerugian yang sangat mendalam, bahkan setelah sembuh pasien TB akan sulit membangun masa depannya kembali karena dalam dirinya telah terbentuk nilai diri yang baru sebagai akibat penderitaan secara fisik dan mental akibat TB dan beban ekonomi yang dideritanya. Dibutuhkan kerja keras dan bantuan dari semua pihak serta waktu yang cukup lama untuk memulihkan kembali rasa percaya diri pasien TB untuk hidup dalam masyarakat.
  • Penelitian persepsi pasien tentang TB menunjukkan reaksi pasien pada saat mengetahui diagnosa adalah kekhawatiran (50%) dan pikiran untuk bunuh diri (9%). Kemiskinan identik dengan rendahnya kualitas pendidikan yang akan menyebabkan seseorang memiliki akses informasi yang sangat terbatas. Ketidakmampuan untuk mengakses informasi yang benar tentang prosedur pengobatan TB tentu akan menimbulkan persepsi yang keliru dalam dirinya, dan celakanya jika tidak dikomunikasikan atau disampaikan secara jelas pada akhirnya akan memunculkan persistensi stigma tentang penyakit TB yang dideritanya. Jelas, pada akhirnya kerugian bukan hanya harus ditanggungi pasien namun juga keluarga dan masyarakat disekitarnya.
Kerugian akibat TB bukan hanya permasalahan beban ekonomi dan kematian semata, namun mencakup hal yang lebih luas lagi yaitu bagaimana mengentaskan kemiskinan yang identik dengan permasalahan kesehatan serta membangun sumber daya manusia yang sehat, memiliki mental positif dan tingkat produktivitas yang tinggi. Jika tidak ingin miskin, maka kita harus sehat agar kualitas hidup, kualitas diri, dan kualitas ekonomi meningkat.

Sumber referensi tulisan :
http://www.tbindonesia.or.id
Makalah Tuberkulosis dan kemiskinan oleh Tjandra Yoga Aditama, FKUI/Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
http://healthmdgs.wordpress.com
http://aidstuberculosismalaria.blogspot.com
Mutia Erlisa Karamoy
Mutia Erlisa Karamoy Mom of 3 | Lifestyle Blogger | Web Content Writer | Digital Technology Enthusiast | Another Blog bundadigital.my.id | Contact: elisakaramoy30@gmail.com

5 komentar untuk "TB, SEBAGAI SALAH SATU SUMBER KEMISKINAN"

Comment Author Avatar
Berarti TB bisa menyebabkan kemiskinan ya ? kalau tb sebagai salah satu sumber kemiskinan. Nyimak saja dulu deh.

Salam
Comment Author Avatar
Iya Mas, nyimak ada dulu hehehehe. Makasih atas kunjungannya, karena TB membuat beban ekonomi pasiennya semakin berat lho.
Comment Author Avatar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Comment Author Avatar
Assalamualaikum
Artikelnya sangat bermanfaat.
Mohon izin untuk mengutip, boleh Bu?