Wajib Tahu Nih! Berbagai Jenis Alat dan Media Tulis Kuno Di Indonesia

alat dan media tulis kuno di Indonesia

Sama dengan negara-negara lainnya di dunia, Indonesia pun memiliki sejarah panjang dalam penggunaan alat dan media tulis kuno. Beragam jenis alat dan media tulis ini mencerminkan kekayaan budaya dan teknologi masyarakat Nusantara sejak zaman dahulu. Alat dan media tulis kuno yang sampai saat ini masih tersimpan dengan rapi sebagai bagian dari koleksi Perpustakaan Nasional RI ini ternyata memiliki banyak sekali manfaat yang signifikan, baik pada masa penggunaannya maupun dalam konteks sejarah dan kebudayaan modern, salah satunya adalah sebagai media untuk pencatatan sejarah.

Untuk urusan pencatatan sejarah, ditemukannya teknologi alat dan media tulis kuno pada masa itu memungkinkan masyarakat di zaman dahulu mendokumentasikan semua peristiwa penting, peraturan atau kebijakan yang berlaku dalam masyarakat pada masa itu, serta kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Media tulis, baik dalam bentuk prasasti, naskah, maupun dokumen kuno menjadi sumber informasi berharga tentang sejarah dan perkembangan peradaban.

Tidak hanya untuk pencatatan sejarah masa lalu, alat dan media tulis kuno juga bermanfaat sebagai media pelestarian pengetahuan. Melalui media tulis kuno, pengetahuan tentang berbagai bidang seperti ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan seni dapat dilestarikan serta diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan beberapa naskah kuno sering berisi teks-teks keagamaan, ilmiah, dan sastra masih relevan hingga masa sekarang, hingga tidak salah sering dijadikan rujukan atau referensi. 

ruang media tulis kuno Perpusnas

Dokumen dan naskah kuno juga dapat berfungsi sebagai sumber belajar bagi peneliti dan pelajar. Bagaimana tidak, dokumen serta naskah kuno tersebut menyediakan banyak sekali informasi tentang metode pengajaran, pandangan dunia, dan teknik penulisan di masa lalu, yang bisa dibandingkan dengan kondisi masa sekarang. Tidak hanya itu, media tulis kuno juga dapat dijadikan sebagai identitas budaya dan kekayaan budaya masyarakat di masa lampau, yang mendiami suatu daerah. naskah kuno tersebut menunjukkan cara berpikir, nilai-nilai, dan kepercayaan yang dianut masyarakat pada zamannya, serta memberikan wawasan tentang perkembangan kebudayaan lokal.

Banyak media tulis kuno yang mencerminkan seni dan estetika, karena dihiasi dengan ilustrasi, kaligrafi, dan hiasan artistik lainnya. Ini tidak hanya menambah nilai estetika tetapi juga memberikan wawasan tentang perkembangan seni dan budaya visual di masa lalu. Pada masa lalu, alat dan media tulis juga digunakan untuk komunikasi resmi dan administrasi, tidak hanya untuk urusan pemerintahan tapi juga perdagangan. Bisa dibilang, alat dan media tulis kuno menjadi jendela untuk melihat masa lalu, termasuk perkembangan peradaban yang memberikan banyak sekali pelajaran bagi masyarakat yang hidup di masa sekarang. Lantas, apa saja jenis alat dan media tulis kuno yang ada di Indonesia? Berikut penjelasannya.

Berbagai Jenis Alat dan Media Tulis Kuno Di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki berbagai jenis alat dan media tulis kuno, yang sampai saat ini masih tersimpan rapi di berbagai museum dan Perpustakaan Nasional RI. Berikut beberapa jenis alat dan media tulis kuno yang dijumpai diberbagai daerah di Indonesia.

BAMBU (Naskah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sunda Kuna)

Bambu merupakan salah satu media tulis yang cukup banyak dipakai nenek moyang bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Penggunaan bambu sebagai media tulis menunjukkan inovasi dan adaptasi masyarakat kuno terhadap berbagai bahan yang tersedia di lingkungannya. Bambu selama beberapa dekade menjadi salah satu bahan utama yang digunakan sebagai media untuk menulis, tentunya sebelum kertas ditemukan. Di Indonesia, media tulis bambu dijadikan masyarakat kuno sebagai alat untuk mencatat berbagai informasi.

Adapun jenis bambu yang dijadikan bahan naskah tergantung pada bentuk yang ingin dihasilkan. Di Sumatera Utara, bambu yang dianggap baik untuk dipakai sebagai media tulis adalah bambu berkulit halus yang disebut Bulu Suraton, yang usianya sudah tua. Sedangkan di Palembang, bambu yang dianggap paling baik kualitasnya adalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper). Bambu yang muda terlalu rawan terhadap serangan serangga, sehingga cukup jarang masyarakat kuno yang menggunakannya.

Berbeda dengan naskah dari media lain yang ditulis secara horizontal dari kiri ke kanan atau sebaliknya dari kanan ke kiri, naskah bermediakan bambu justru ditulisi secara vertikal dengan arah dari bawah ke atas. Hal ini dikarenakan bentuk bambu yang bulat sehingga menyulitkan proses penulisan. Guna menghindari bergesernya bambu saat ditulisi, maka salah satu ujungnya disandarkan pada bagian perut penulis, sementara ujung lainnya di pegang dengan menggunakan tangan kiri.

media tulis kuno Bambu

Aksara maupun ornamen pada media bambu ditulis menggunakan sebuah pisau raut yang runcing. Tulisannya mengikuti panjang ruas bambu, sementara bagian buku bambu tidak ditulisi. Bagian buku bambu biasanya diratakan atau dihiasi dengan ornamen. Bekas goresan pisau kemudian dihitamkan dengan menggunakan kemiri yang dibakar hingga mengeluarkan minyak. Campuran abu dan minyak yang hitam dan pekat itu akan menempel pada bekas goresan pisau dan menghasilkan warna kontras pada permukaan bambu yang coklat kekuningan. 

Penggunaan bambu sebagai media tulis kuno merupakan bagian penting dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Contoh-contoh media tulis bambu yang masih ada hingga kini memberikan wawasan berharga tentang kehidupan dan pengetahuan masyarakat kuno. Upaya pelestarian dan penelitian terhadap media tulis bambu membantu memahami lebih dalam tentang sejarah dan budaya yang kaya dari masyarakat tersebut.

BILAH BAMBU (Naskah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sunda Kuna)

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bambu merupakan salah satu bahan utama untuk membuat naskah di Sumatera Selatan. Sebagian besar naskah yang ditemukan di daerah tersebut bermediakan bambu dan kulit alim. Masyarakat Sumatera Selatan menyebut naskah bermediakan bambu sebagai Gelumpai. Semula, gelumpai digunakan untuk merujuk naskah yang terbuat dari bilah atau potongan bambu. Namun kemudian, penyebutan ini juga digunakan untuk naskah yang terbuat dari bambu utuh (gelondongan).

media tulis kuno bilah bambu

Adapun jenis bambu yang seringkali digunakan untuk membuat gelumpai adalah bambu betung atau yang bernama latin Dendrocalamus asper. Bambu ini diyakini sangat kuat, tegak, dan bisa mempunyai tinggi hingga mencapai 30 meter, selain juga mempunyai ruas-ruas yang jelas. Sebelum diolah menjadi naskah, bambu direndam air dalam waktu yang lama terlebih dahulu, lalu dikeringkan dengan cara dijemur. Sementara untuk menulisinya, dipergunakan benda keras dari besi, semacam pisau kecil dengan menggunakan teknik gores.

Gelumpai diproduksi pada sekitar abad ke-16 dan ke-17 oleh masyarakat uluan, yakni sebutan untuk masyarakat Palembang yang tinggal di sekitar hulu sungai (pedalaman). Isi didalamnya memuat berbagai bahasan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat, seperti misalnya politik, sosial, dan sejarah, juga cerita pewayangan, doa-doa, hingga syiar agama.

KULIT ALIM (Naskah Sumatera Utara, Naskah Pustaha Laklak)

Kulit Alim adalah bahan utama yang digunakan untuk membuat laklak, yaitu alat tulis dalam tradisi naskah Batak. Bahan media tulis ini diperoleh dari sebuah pohon bernama kayu alim. Pohon kayu alim (aquilaria) dapat ditemukan dikawasan hutan tropis di wilayah Asia Tenggara. Di Sumatera Utara, jenis pohon ini juga dapat dijumpai di daerah Barus Hulu, di sekitar Pardomian, Kabupaten Dairi, serta daerah Pulau Raja, Kecamatan Bandar Pulau dan Kabupaten Asahan.

Bagi yang belum mengetahuinya, naskah bermediakan kulit kayu alim tidak dibuat dengan menggunakan lapisan kulit luar yang sudah kering dan mati, melainkan lapisan dalam yang liat alih-alih keras. Proses produksinya pun tidak mudah melainkan memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki sembarangan orang. Berikut cara pembuatan media tulis kuno yang terbuat dari kulit kayu alim.

Pada tahap pertama, kayu dipanen dan keringkan, kemudian dipilih yang ukurannya cocok untuk digunakan sebagai media tulis. Setelah kulit kayu dikelupas, kulit luar yang kering dipisah dari kulit dalammya. Kupasan kulit kayu tersebut bisa mencapai ukuran 15 meter dan lebar 60 sentimeter. Kulit kayu alim tidak ditempa seperti daluang. Jika ukuran panjang lembaran tidak sesuai seperti yang diinginkan, maka lembaran kulit yang baru akan ditempelkan.

media tulis kuno kulit alim

Setelah itu, kedua ujungnya dipotong lurus dan permukaannya diratakan menggunakan pisau. Langkah berikutnya, dihaluskan menggunakan dedaunan, biasanya menggunakan jenis Ficus Ampelos Burm. Selanjutnya masuk ke tahap yang paling sulit dalam memproses kulit kayu alim adalah saat melipat, sebagaimana yang terlihat pada naskah-naskah kuno. Ciri lipatan kertas serupa akordeon inilah yang paling mencolok dalam naskah Batak. Lipatan naskah lalu ditokok-tokok menggunakan martil kayu agar terlihat rapi.

Kedua belah sisi dipotong dengan pisau hingga lurus. Laklak yang sudah dilipat ini lalu diolesi tepung beras dan air kulit kayu agar menjadi licin dan mengikat tinta hingga mudah ditulisi. Setelah kering, pustaha laklak digarisi sesuai dengan jumlah baris yang ingin ditulis. Garis yang sangat tipis dan terlihat samar ini dibuat untuk memudahkan dan merapikan tulisan. Laklak di tulis dari bawah ke atas pada naskah yang diletakkan secara horizontal. Media tulis ini kemudian ditulisi menggunakan lidi enau yang disebut tarugi.

Proses pembuatan pustaha laklak tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang pada sembarangan waktu. Pelaksanaannya harus dilakukan dengan ritual khusus yang dipimpin oleh seorang datu, serta dilakukan pada hari-hari tertentu. Tidak salah jika pustaha laklak disebut sebagai kitab sakral yang umumnya berisi ragam ilmu pengetahuan dan spiritual, seperti rahasia pengobatan tradisional, ilmu nujum, hingga ilmu hitam dan putih.

DAUN GEBANG (Naskah Jawa Kuna, Sunda Kuna)

Sempat dikenali sebagai nipah, gebang akhirnya teridentifikasi sebagai media tulis naskah berdasarkan pada berbagai sumber dari Jawa dan Bali. Gebang berasal dari pepohonan sejenis palem (corypha utan, corypha gebanga). Tinggi pohon yang sudah dewasa berkisar antara 15 - 20 meter. Ciri lain dari pohon ini adalah daunnya yang berkumpul pada ujung batang dengan bentuk menyerupai kipas atau seperti jari tangan yang terbuka. Diameter daun mencapai 2 hingga 3,5 meter dan berkumpul di ujung batang pohon. Dibandingkan dengan daun lontar, daun gebang cenderung lebih tipis dan berwarna lebih cerah.

media tulis kuno daun gebang

Naskah yang dibuat dari daun gebang ditulisi dengan menggunakan tinta hitam. Hal ini pula yang membedakannya dengan naskah dari daun lontar yang ditulisi menggunakan pisau. Naskah yang ditulis pada media daun gebang tidaklah banyak, hanya sekitar tiga puluhan naskah di seluruh dunia.

DAUN LONTAR (Naskah Jawa Kuna, Bali, Sunda Kuna, Lombok, Bugis)

Siapa nih yang sudah tahu kalau daun lontar kerap dipakai sebagai media tulis di zaman dahulu? Ternyata banyak juga yang belum mengetahuinya. Daun Lontar merupakan sejenis daun palem (Borassus flabellifer) yang diolah sedemikian rupa sehingga bisa dijadikan media tulis atau alat tulis yang berkualitas. Kata lontar sebetulnya bentukan metatesis dari kata Jawa Kuna ron tal, yang berarti daun tal. Istilah rontal kemudian digunakan untuk merujuk daun pohon lontar yang belum dipergunakan sebagai alat tulis.

Jika di Jawa bentuk naskah lontar berupa lembaran-lembaran terpisah yang disatukan dengan tali pengikat dan dijilid dengan kayu pengapit. Biasanya sebelum diproduksi sebagai media tulis naskah, daun rontal dipilih dan dipetik dengan beberapa ketentuan. Bagi orang Bali, bulan terbaik untuk pemetikan ini adalah bulan Kartika (September/Oktober) dan Kasanga/Kadasa (Maret/April) sebelum naik bulan purnama. Di luar bulan-bulan tersebut, kualitas daun dianggap kurang baik untuk bahan tulis. Pohon yang baik terutama yang tumbuh didaerah kering dan wilayah pesisiran. Hasil akhir produksi daun lontar yang diinginkan adalah daun lontar yang kering dan tahan terhadap serangga.

media tulis kuno daun lontar

Tahapan pertama untuk menghasilkan lontar sebagai alat tulis adalah dengan mengeringkannya di bawah sinar matahari. Tahapan ini akan menyebabkan warna daun rontal berubah menjadi kuning pucat. Setelah dijemur, daun kemudian dicuci pada air mengalir atau dalam bak air yang selalu diganti airnya setiap hari selama 3 sampai 4 hari. Setelah ini, daun kemudian dipotong sesuai ukuran yang diharapkan, sementara ijuk atau tulang pada daunnya dilepaskan.

Daun lontar yang telah jadi kemudian ditulisi menggunakan alat tulis khusus, yakni sejenis pisau yang disebut pengrupak di Bali atau Peso Pangot dalam masyarakat Sunda. Tidak hanya ditulisi, sebagian naskah bermediakan lontar juga memiliki muatan ilustrasi. Biasanya, bentuk naskah lontar yang demikian disebut lontar prasi. Lontar prasi digambari menggunakan pengrupak (pisau) khusus yang biasa untuk menorehkan aksara. Goresan yang dihasilkan pun nampak tipis dan halus.

Dluwang, Daluang (Naskah Jawa, Melayu, Sunda, Madura)

Dluwang atau Daluang adalah kertas tradisional asli Indonesia. Beberapa peneliti asing lebih senang menyebutnya dengan istilah Kertas Jawa. Media tulis ini sendiri memiliki berbagai penyebutan. Dalam bahasa Jawa, kertas Daluang dikenal sebagai Dluwang atau Dlancang. Jawa Kuna menyebutnya Daluang, sementara bahasa Sunda menamakannya sebagai Daluang. Sedangkan dalam bahasa Bali, daluang dikenal dengan sebutan ulantaga.

media tulis kuno dluwang atau daluang

Daluang dibuat dari kulit pohon Paper Mulberry yang bernama latin Broussonetia Papyrifera Vent, atau pohon saeh dalam bahasa Sunda. Adapun cara pembuatan kertas ini adalah dengan merendam kulit batang pohon saeh yang telah berusia 8 bulan sampai dengan 2 tahun selama beberapa jam. Setelah kulit melunak, tahap selanjutnya adalah dengan memipihkannya menggunakan alat pemukul berbahan perunggu yang disebut pomeupeuh. Setelah menyerupai lembaran kertas, daluang kemudian direndam kembali dan dibungkus menggunakan daun pisang selama beberapa saat untuk menghilangkan lendirnya. Usai separuh kering, daluang lantas dikeringkan di permukaan pelepah pisang. Tujuannya untuk menciptakan tekstur permukaan yang halus. Sementara itu, permukaan kertas yang kasar akan dihaluskan menggunakan kerang. 

Selain media tulis yang sudah disebutkan di atas, sesungguhnya masih banyak media tulis lainnya yang dipakai masyarakat zaman dahulu untuk menulis atau menyampaikan berita serta peristiwa melalui tulisan. Tapi memang sebagian dari media tulis kuno tersebut tidak bisa ditemukan secara utuh. Namun, keberagaman alat dan media tulis kuno ini mencerminkan kekayaan budaya dan teknologi masyarakat Nusantara sejak zaman dahulu. Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dan detil, bisa mengunjungi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, karena selain informasi yang lengkap, pengunjung juga bisa mengakses bentuk alat dan media tulis secara langsung.

Mutia Erlisa Karamoy
Mutia Erlisa Karamoy Mom of 3 | Lifestyle Blogger | Web Content Writer | Digital Technology Enthusiast | Another Blog seputarbunda.com | Contact: elisakaramoy30@gmail.com

Posting Komentar untuk "Wajib Tahu Nih! Berbagai Jenis Alat dan Media Tulis Kuno Di Indonesia"