Pada peringatan Hari Kusta Sedunia (HKS) 2022, Kementerian Kesehatan kembali menyerukan untuk berhenti melakukan stigma negatif dan perlakukan diskriminasi terhadap penderita kusta, terutama Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Dalam kesempatan peringatan itu, setidaknya ada tiga pesan penting yang bisa dilakukan masyarakat, yaitu stop stigma negatif dan perlakuan diskriminasi pada penderita kusta, OYPMK memiliki hak untuk menjalani kehidupan yang bermartabat serta terbebas dari stigma juga perlakukan diskriminasi, dan pesan yang ketiga adalah hargai hak OYPMK.
Kusta bukanlah penyakit baru, melainkan sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Namun sampai sekarang, masih banyak OYPMK yang mengalami kesulitan untuk melanjutkan hidupnya. Padahal hampir seluruh OYPMK sudah dinyatakan sembuh total dari penyakitnya. Kesulitan melanjutkan hidup yang tahun demi tahun dijalani OYPMK membuat sebagian dari mereka mengalami penurunan Quality of Life atau kualitas hidup.
Secara sederhana, Quality of Life seringkali diartikan sebagai kadar kesejahteraan baik individu maupun masyarakat. Meskipun kualitas hidup tiap orang berbeda, namun secara umum kualitas hidup seseorang biasanya dinilai dari beberapa unsur, diantaranya ekonomi stabil, hubungan baik dengan lingkungan atau family friendly, perasaan aman, dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang kurang terpenuhi pada OYPMK, sehingga beberapa dari mereka mengalami penurunan kualitas hidup. Ditambah lagi sebagian masyarakat masih memiliki stigma tersendiri terhadap penyakit kusta, yang membuat OYPMK kerap mengalami perlakuan yang diskriminatif, tidak hanya dari lingkungan tapi juga keluarga terdekatnya.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan, sebagian besar OYPMK merasa tidak puas dengan Quality of Life karena beberapa faktor, seperti kerap mengalami gangguan kesehatan fisik, gangguan kesejahteraan psikologis, gangguan hubungan sosial, dan gangguan lingkungan. Kondisi gangguan ini jika tidak segera teratasi membuat sebagian OYPMK rentan mengalami stres, yang berujung pada penurunan kualitas hidup lebih dalam lagi. Lantas, bagaimana solusinya?
Dalam acara Talkshow Ruang Publik KBR yang diselenggarakan KBR Indonesia dan NLR Indonesia, organisasi nirlaba yang bekerja untuk menanggulangi kusta, pada 14 Desember 2022 lalu, di bahas seputar perlukah Chilling dan Healing untuk OYPMK. Kedua istilah ini pastinya sudah populer di kalangan masyarakat, terutama anak muda. Umumnya, istilah ini dipakai anak muda yang lelah dengan rutinitas sehari-hari, baik di sekolah atau lingkungan kerja, sehingga membutuhkan waktu khusus untuk mengisi energi diri.
Kaitannya dengan OYPMK, harusnya semua masyarakat tahu bahwa OYPMK adalah bagian dari masyarakat juga apalagi ada sebagian OYPMK yang masih berusia muda, yang pastinya butuh Chilling dan Healing sejenak dari tekanan hidup yang mereka alami. Hal yang tidak bisa dipungkiri, OYPMK dan penyandang disabilitas ragam banyak yang mengalami tekanan akibat terjebak dalam lingkaran diskriminasi.
Lebih jauh lagi, OYPMK tidak hanya mengalami diskriminasi dari lingkungan sosial saja, karena OYPMK dan penyandang disabilitas acap kali memiliki self stigma (stigma diri) yang tinggi, yang berakibat pada hilangnya rasa percaya diri dan cenderung menarik diri dari lingkungan. Jika sudah mengalami hal ini, tentu akan berimbas pada turunnya Quality of Life OYPMK dan penyandang disabilitas itu sendiri.
Tingkatkan Quality of Life OYPMK Dengan Chilling dan Healing
Quality of Life seseorang hanya bisa ditingkatkan jika orang tersebut memiliki stigma diri yang positif atau memiliki rasa percaya diri serta perasaan aman terhadap lingkungan disekitarnya. Nah, seperti apa cara mengatasi stigma diri pada OYPMK dan penyandang disabilitas? Serta apa Chilling dan Healing yang tepat serta aksesible untuk OYPMK dan penyandang disabilitas? Akan di bahas bersama dua narasumber, yaitu:
- Donna Swita, Executive Director Institute of Women Empowerment (IWE).
- Ardiansyah, OYPMK dan Wakil Ketua Konsorsium Pelita Indonesia.
Dalam kesempatan pertama, Mbak Donna Swita menjelaskan tentang Institute of Women Empowerment (IWE) yang awalnya dibentuk 2008 oleh para aktivitas, akademisi, dan masih banyak lainnya dan berkantor pusat di Hongkong. Namun karena sebagian besar program pemberdayaan untuk perempuan banyak dilakukan di Indonesia, akhirnya di tahun 2016 IWE memindahkan kantornya ke Indonesia, tepatnya Jakarta. Sebagian besar anggota IWE juga adalah anggota organisasi yang lain yang memiliki visi dan misi untuk meningkatkan kepemimpinan kaum perempuan serta peran strategis perempuan lainnya.
Dalam konteks OYPMK dan penyandang disabilitas, IWE memiliki perhatian yang sangat besar untuk ikut serta memperjuangkan kehidupan khususnya kaum perempuan yang juga adalah OYPMK dan penyandang disabilitas agar mendapatkan hak yang sama dengan perempuan lainnya. Untuk itulah, IWE banyak melakukan kerjasama dan kolaborasi dengan organisasi lainnya. Kebetulan saat ini, IWE dengan gencar melakukan kerjasama dengan Komnas Perempuan dan Proteksi Internasional untuk program perawatan diri bagi semua perempuan termasuk OYPMK dan penyandang disabilitas.
Narasumber berikutnya adalah Ardiansyah, seorang OYPMK sekaligus Wakil Ketua Konsorsium Pelita Indonesia yang menceritakan bagaimana beratnya menjadi seorang OYPMK untuk hidup bersama orang lain, termasuk keluarga terdekat hingga akhirnya memiliki stigma diri. Pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami Mas Ardiansyah di keluarga membuat rasa percaya diri makin turun tajam. Padahal, sudah melakukan pengobatan secara tuntas. Perlakukan ini tentu saja memunculkan luka batin dalam diri Mas Ardiansyah, yang terus berlanjut meskipun sudah sembuh dengan tuntas.
Kondisi stigma diri yang dialami OYPMK dan penyandang disabilitas menurut Mbak Dona Swita perlu mendapatkan healing, karena erat hubungannya dengan kondisi psikis yang harus disembuhkan agar bisa menjalani kehidupan yang lebih baik kedepannya. Lebih lanjut Mas Ardiansyah menambahkan bahwa self stigma yang dialaminya justru saat sudah sembuh dan kembali ke lingkungan keluarga. Lantas bagaimana caranya untuk mengatasi self stigma tersebut?
Langkah pertama yang dilakukan Mas Ardiansyah adalah keluar dari lingkungan yang membuatnya tidak nyaman, lalu kemudian bergabung dengan orang-orang dan komunitas yang mau menerima OYPMK dengan tangan terbuka. Langkah ini adalah cara healing yang bisa dilakukan OYPMK dan penyandang disabilitas, dan berhasil dilakukan Mas Ardiansyah hingga kemudian bisa menghilangkan stigma diri, bekerja, dan bersosialisasi. Aktif berorganisasi untuk memperjuangkan nasib OYPMK lainnya menjadi cara healing yang dilakukan Mas Ardiansyah.
Prinsip hidup Mas Ardianyah juga patut diacungi jempol, bahwa perubahan harus berawal dari kemauan keras dari diri sendiri dan tidak ada yang bisa berubah jika orang tersebut tidak mau merubah dirinya. Meskipun mengalami stigma diri dan tekanan yang kuat dari lingkungan, Mas Ardiansyah berhasil mengatasinya.
Beranjak dari pengalaman ini, Mas Ardiansyah mengungkapkan bahwa salah satu cara Chilling dan Healing terbaik bagi OYPMK adalah menemukan orang atau kelompok komunitas yang mau menjadi pendengar terbaik atas semua masalah dan tekanan yang dialami OYPMK. Selain itu, proses menerima kondisi yang dialami dan selalu berpikir positif menjadi cara lain untuk healing bagi OYPMK, karena tidak ada yang berubah kecuali diri sendiri yang mengubahnya.
Lebih lanjut, Mbak Dona menambahkan bahwa ada tiga jenis pemulihan diri atau healing untuk seseorang yang mengalami tekanan atau stigma diri, seperti yang kerap dialami OYPMK, yaitu:
- Dimensi Fisik, yang berhubungan dengan kesehatan tubuh.
- Dimensi Psikis, yang berhubungan dengan kesehatan mental dan relasi dengan orang disekitarnya.
- Dimensi Spiritual, yang berhubungan dengan keyakinan.
Dari ketiga dimensi ini, menurut mbak Dona akan dilihat dimensi mana yang paling dibutuhkan atau yang menjadi prioritas untuk memulihkan seseorang yang mengalami luka batin akibat stigma diri dan tekanan dari lingkungan. Cara lain bagi seorang OYPMK untuk healing adalah dengan memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi yang benar dan terpercaya yang bisa membantu dirinya bangkit dari kondisi terpuruk hingga berakibat pada menurunnya Quality of Life.
Selain itu, masih ada cara healing yang bisa dilakukan OYPMK, yaitu dengan menulis. Menulis tentang dirinya, selain bisa menjadi cara mengenali diri sendiri juga bisa sebagai media atau tempat untuk menumpahkan segala keluh kesah. Apalagi semua tahu kalau OYPMK memiliki banyak sekali tekanan dan keluhan yang ingin dikeluarkan dari dalam dirinya. Menulis juga bisa mengurangi beban pikiran dan menemukan solusi untuk bangkit untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas.
Lantas, apakah OYPMK bisa melakukan cara healing seperti masyarakat lain pada umumnya, bepergian ke tempat wisata atau sejenisnya? Bisa saja dan memang cara ini bisa dilakukan siapa saja, termasuk OYPMK. Namun untuk melakukan cara healing seperti ini bagi OYPMK agak sulit, apalagi berkaitan dengan infrastruktur yang ada dilokasi wisata tersebut, apakah ramah terhadap OYPMK atau penyandang disabilitas. Alasan inilah yang membuat OYPMK disarankan memilih cara healing yang dimulai dari usaha pemulihan diri sendiri, pemanfaatan teknologi, atau melakukan aktivitas menulis.
Namun dibalik macam-macam healing yang bisa dilakukan OYPMK dan penyandang disabilitas, penting bagi masyarakat untuk tahu bahwa stigma dan perlakuan diskriminatif bisa berakibat hilangnya rasa percaya diri serta perilaku negatif lainnya. Padahal OYPMK juga memiliki hak hidup yang sama dengan orang lainnya, hak untuk mendapatkan pekerjaan, meneruskan pendidikan, dan hak-hak lainnya. Yuk bersama berikan akses seluas-luasnya bagi OYPMK dan penyandang disabilitas untuk meningkatkan Quality of Life, salah satunya dengan melakukan Chilling dan Healing.
Posting Komentar untuk "Tingkatkan Quality of Life OYPMK Dengan Chillling dan Healing"
Posting Komentar