Indonesia Sehat, Indonesia Tanpa Korupsi

Banyak orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Pandangan atau pendapat ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena nyaris setiap hari bahkan setiap menit silih berganti pemberitaan di media mengungkap kasus korupsi yang dari tahun ke tahun seakan tidak pernah usai. Bahkan pelaku tindak pidana korupsi telah merasuk ke dalam tiap sendi kehidupan masyarakat. Jadi wajar aja jika sebagian masyarakat dengan santainya menganggap biasa ketika kasus korupsi terungkap atau bahkan tertangkap oleh mata. Dan satu lagi yang menjadi catatan, bahwa fenomena ini bukanlah barang baru, melainkan telah berlangsung secara turun-temurun atau dari generasi ke generasi. Layaknya sebuah budaya tradisional yang harus dilestarikan agar tidak punah, budaya korupsi pun ikut terwarisi secara sadar atau tidak sadar oleh sebagian besar masyarakat. Tapi kemudian permasalahan korupsi yang dianggap sebagai budaya ini menjadi masalah besar manakala semakin banyak orang yang melakukan tindak pidana korupsi, semakin canggih, dan nyata-nyata semakin merugikan keberlangsungan pembangunan bangsa.

Korupsi
Gambar : http://smkn3-denpasar.sch.id/pak/wp-content/uploads/2013/10/Korupsi.Ilustrasi.jpg
Ada satu ungkapan yang sangat bernilai akan tetapi terkesan sinis dari Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, yang semasa hidupnya pernah berkata, "bahwa musuh negara yang paling ditakuti bukanlah PKI melainkan kemunafikan". Bahkan keprihatinan akan semakin maraknya tindak pidana korupsi pun tertuang dalam bentuk stiker yang banyak dijual di pinggir-pinggir jalan yang menyiratkan betapa korupsi telah menjadi sesuatu yang biasa dan dibiasakan. Salah satu stiker yang menarik berbunyi, "muda nyontek, dewasa korupsi, tua masuk penjara" lengkap dengan gambar tikus yang mengerogoti uang. Miris, menyesakkan, sekaligus ungkapan getir dari ketidakberdayaan akan upaya melawan kewenang-wenangnya tindak pidana korupsi.

Karena itulah, korupsi sebagai budaya perlu didekonstruksi ulang atau ditinjau ulang. Upaya dekonstruksi harus dimulai dari melihat definisi "budaya" dan definisi "korupsi" agar bisa ditelisik dan ditelaah lebih jauh apakah korupsi layak dikatakan sebagai budaya atau tidak. Definisi budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pikiran atau akal budi, sesuatu yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), sedangkan kata "berbudaya" didefinisikan mempunyai budaya; mempunyai pikiran dan akal yang sudah maju. Bisa dikatakan jika budaya merupakan produk dari kemajuan berpikir manusia yang beradab.
 
Sedangkan korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang artinya buruk atau rusak, atau bisa juga ditransformasikan dalam kata kerja bahasa latin corrumpere yang artinya menggoyahkan, menyogok, dan memutarbalikan. Lembaga Transparansi Internasional mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyelewengkan dan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka untuk kepentingan atau memperkaya diri sendiri maupun golongannya.
Setidaknya dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa korupsi tidak tepat dikatakan sebagai budaya, karena meskipun tindakan tersebut merupakan buah dari pikiran namun sama sekali tidak berpotensi untuk membawa kemajuan, bahkan bisa dikatakan kemunduran. Mengapa? Karena sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi kemajuan pembangunan bangsa dan negara secara adil dan merata, serta bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, dengan menganggap korupsi sebagai sebuah budaya, maka secara tidak langsung masyarakat akan melegitimasi perilaku ini sebagai sesuatu yang biasa atau terbiasa, hingga pada akhirnya tidak ada kesadaran untuk menghapus dan menghilangkan perilaku tersebut. Sangat disayangkan, karena untuk memberantas dan menghilangkan perilaku korupsi harus dimulai dari masyarakat, karena pelakunya adalah individu-individu yang merupakan bagian dari masyarakat.

Mungkin ada banyak cara dan formula yang telah dilakukan pemerintah sebagai pihak yang berkompeten dan memiliki wewenang untuk mengatur negara untuk meminimalisir bahkan memberantas tindak pidana korupsi. Bahkan melalui pintu masuk sebuah lembaga yang bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pemerintah berupaya menunjukkan komitmennya untuk memberantas tindak pidana korupsi, yang dimulai dari para pejabat publik. Namun, sejujurnya upaya ini tidak akan maksimal bila tidak didukung oleh masyarakat. Karena itulah untuk memulai perlawanan dengan tindak pidana korupsi adalah dengan menyamakan persepsi bahwa korupsi adalah penyakit sosial yang sangat kronis, menular, mematikan, dan sangat berbahaya karena berpotensi mengerogoti kesehatan bangsa dan negara secara perlahan dari dalam.

Korupsi Sebagai Penyakit Sosial
 
Berbagai perilaku individu terkait satu sama lainnya dalam setiap kelompok atau masyarakatnya. Masyarakat adalah suatu kelompok sosial yang terdiri atas kumpulan beberapa individu yang hidup bersama dan menjalin interaksi sosial dalam suatu daerah dalam jangka waktu yang relatif lama. Sedangkan menurut Selo Sumardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. 

Masyarakat dapat diibaratkan sebagai tubuh, dimana keadaan masing-masing organ tubuh mempunyai pengaruh terhadap kesehatan tubuh secara keseluruhan. Demikian juga masyarakat, di mana perilaku individu yang merupakan bagian atau organ bagi masyarakat sangat menentukan bagaimana kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang harmonis terbentuk dari perilaku masing-masing warga masyarakat yang sesuai dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku. Keharmonisan kehidupan masyarakat akan menciptakan suasana masyarakat yang sehat dan teratur.

Seperti halnya tubuh yang selalu menghadapi kemungkinan terserang atau terkena berbagai penyakit, masyarakat pun rentan terserang berbagai penyakit yang dapat merongrong dan merusak tatanan keharmonisan serta keteraturan sosial di masyarakat, yang lazim disebut penyakit sosial. Penyakit sosial merupakan bentuk kebiasaan berperilaku sejumlah warga masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat lainnya, bahkan masyarakat secara keseluruhan.
Karena itulah untuk mengindentifikasi apa saja penyakit sosial yang berpotensi merongrong dan merusak tatanan nilai dan norma yang sehat di masyarakat, tiap individu harus memiliki kesamaan persepsi dan pemahaman bahwa perilaku tersebut menyimpang serta merugikan dalam bentuk konsensus. Konsensus sangat penting untuk menguatkan apa yang menjadi kesepakatan bersama bahwa ada satu nilai yang menyimpang dan jika dibiarkan akan merusak tatanan nilai dan norma masyarakat secara keseluruhan, salah satu nilai yang menyimpang tersebut adalah tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi sudah diketahui bersama adalah perilaku yang sangat menyimpang dan sangat merugikan orang lain dan negara, bukan hanya untuk bidang ekonomi namun juga bidang-bidang lain yang menyangkut hajat hidup masyarakat secara keseluruhan. Karena itulah korupsi sangat-sangat layak dikategorikan sebagai "penyakit sosial" yang sangat kronis, menular, serta mematikan. Dengan konsensus bersama antar warga masyarakat, maka upaya untuk melegitimasi korupsi sebagai penyakit sosial yang harus dikendalikan bahkan diberantas akan mudah untuk dilaksanakan, karena tidak ada manusia pun di dunia ini yang ingin sakit apalagi menderita sakit kronis dan menular.
 
Strategi Mewujudkan Mimpi Indonesia Sehat Tanpa Korupsi

Ada dua strategi untuk memberantas dan mengendalikan beragam penyakit, termasuk korupsi sebagai penyakit sosial yang kronis dan sangat menular, yaitu :
 
1. Proses Identifikasi Masalah Korupsi.
Identifikasi masalah adalah suatu tahapan proses merumuskan masalah atau untuk mengenali masalah yang ingin diselesaikan. Proses identifikasi sangat berhubungan erat dengan penelitian. Dalam konteks tindak pidana korupsi sebagai penyakit sosial di masyarakat, maka untuk mengetahui secara jelas variabel apa saja yang mempengaruhi seseorang bisa terkena atau tertular penyakit ini harus dilakukan melalui penelitian secara mendalam. Tidak bisa sepintas lalu kita mengatakan bahwa korupsi dilakukan karena faktor kemiskinan, belum tentu karena ada banyak variabel yang bisa saja menekan seseorang untuk melakukan tindakan tersebut, sekalipun yang bersangkutan tahu bahwa perilaku korupsi melanggar hukum dan tatanan nilai dalam masyarakat. Termasuk juga didalamnya mengupayakan agar masyarakat memahami secara mendalam tentang apa sesungguhnya tindak pidana korupsi itu.

Proses Identifikasi Masalah
Sumber : http://suhadinet.files.wordpress.com/2010/09/index.jpeg
Selain itu, latar belakang budaya, norma dan nilai sosial yang dianutnya, tempat tinggal, pola hidup, dan pola interaksi di lingkungan juga sangat mempengaruhi perilaku seseorang, termasuk perilaku tidak terpuji seperti korupsi. Contoh, untuk satu kasus korupsi yang sama dan dilakukan oleh dua orang yang berbeda tentu alasan serta latar belakang melakukan tindak pidana korupsi berbeda pula. Yang satu mungkin ingin memperkaya diri sedang yang lain karena terdesak oleh satu keadaan yang memaksa.
Disinilah diperlukan identifikas permasalahan korupsi secara mendalam melalui penelitian terhadap pola kehidupan individu dalam masyarakat dan juga masyarakat secara keseluruhan. Bahkan dengan keberadaan Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ratusan suku bangsa, tentu proses identifikasi juga haruslah menyesuaikan dengan kondisi tersebut demi tercapainya tujuan "Indonesia sehat, Indonesia tanpa korupsi". Jika masyarakat di mana para individu itu bernaung sepakat bahwa tindak pidana korupsi adalah penyakit sosial yang berbahaya, maka secara tidak langsung seseorang yang terlibat tindak pidana korupsi akan mengalami tekanan sosial baik fisik maupun mental untuk berubah dan mau menerima nilai serta norma yang menjadi kesepakatan kelompoknya.

2. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Di dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 menyatakan bahwa strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) memiliki visi jangka panjang dan menengah. Visi jangka panjang adalah "terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang berintegritas". Adapun visi jangka menengah yaitu "terwujudnya tata pemerintahan yang bersih dari korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang berintegritas".

Pencegahan dan pemberantasan korupsi
Sumber : http://old.setkab.go.id/media/article/images/2014/03/22/m/e/melawan-korupsi-650x400.jpg
Untuk mencapai visi tersebut, maka dirancang enam strategi, yaitu :
  1. Pencegahan. Strategi ini merupakan jawaban atas pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatan represif. Untuk inilah diperlukan pemberdayaan masyarakat melalui proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran agar sasaran berubah: dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowlegde), aspek dari tahu menjadi mau (aspek Attitude), dan dari mau menjadi mau melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek Practice).
  2. Penegakan Hukum.
  3. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan.
  4. Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor.
  5. Pendidikan dan Budaya Antikorupsi.
  6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi.

Indonesia sehat tanpa korupsi
Gambar : http://www.depkes.go.id/
Negara harus sehat jika ingin memberikan hasil yang terbaik bagi kesejahteraan rakyatnya, dan sebaliknya rakyat juga harus sehat jasmani dan rohani jika ingin memberikan kontribusi yang terbaik bagi kemajuan bangsanya dan bagi kehidupannya di masa depan. Karena itulah pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Untuk mewujudkan Indonesia Sehat Tanpa Korupsi memang membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki integritas tinggi, sehat jasmani dan rohani, dan yang terpenting terbebas dari segala hal yang berbau korupsi. Melalui pintu bidang pendidikan, diharapkan akan lahir generasi muda yang kompeten dan mampu membawa bangsa dan negara ke arah yang lebih maju lagi, tanpa ada korupsi.
Namun, untuk ke arah sana diperlukan kerjasama yang baik dengan sumber daya manusia produk masa kini yang juga memiliki integritas yang tinggi dan anti korupsi. Untuk inilah diperlukan strategi khusus seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, karena melalui proses identifikasi khusus dan upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi secara perlahan akan menemukan titik yang mengembirakan, karena untuk mewujudkan Indonesia sehat tanpa korupsi, pola pikir masyarakat beserta individu-individu yang didalamnya pun harus berubah. Mulailah dari hal yang sederhana, yaitu menyamakan persepsi antar individu dalam suatu sistem kemasyarakatan bahwa korupsi adalah penyakit sosial kronis dan menular yang bisa menghambat tercapainya Indonesia sehat tanpa korupsi di masa depan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Indonesia Bebas Korupsi yang diselenggarakan Gerakan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (GNPK).

Sumber referensi tulisan :
Mutia Erlisa Karamoy
Mutia Erlisa Karamoy Mom of 3 | Lifestyle Blogger | Web Content Writer | Digital Technology Enthusiast | Another Blog bundadigital.my.id | Contact: elisakaramoy30@gmail.com

Posting Komentar untuk "Indonesia Sehat, Indonesia Tanpa Korupsi"